Dari Tangan NKVD ke NKGB – Sebelum Masuk Penjara Lubianka

Satu cerita ini berkisah Ciszek di tangan NKVD atau polisi rahasia Rusia setelah ditangkap.

Certinya berkisar 3 hal: suasana ruang tahanan atau sel, interograsi, dan kelaparan. Ciszek cukup detail menceritakan suasana ruang tahanan awal setelah ditangkap. Dia ditahan di sebuah rumah yang diubah menjadi ruang tahanan. Tak ada yang bener tahu mengapa mereka ditangkap dan ditahan di situ. Baik yang anak muda, biasanya dianggap berandalan atau maling kecil-kecilan, karyawan pabrik, pegawai pemerintah rendahan, manajer sebuah pabrik, guru, dan berbagai macam profesi. Mereka semua sama: mengalami kebingungan mengapa mereka harus ditangkap.

Kemampuan Ciszek menerima lelucon jorok yang anak-anak lontarkan dan berbekal sedikit tembakau maka anak-anak yang ditahan satu sel dengannya menerima bahkan sedikit memberikan penghormatan. Tapi hanya semalam ditahan di situ, ketika pagi hari Ciszek dipindahkan ke penjara distrik Perm dengan naik kereta api. Penjara di Perm tidak beda dengan rumah tahanan, sel yang kecil atau tahanan yang begitu banyak membuat tekanan kepada penghuni meningkat. Sedikit saja ada senggolan yang tidak diinginkan terjadi keributan.

Tahanan keluar masuk, terus bergantian. Yang sudah dipanggil biasanya melakukan perpisahan dengan rekan-rekan dekatnya. Hampir tak ada yang sudah dipanggil balik ke sel, kecuali panggilan untuk interograsi. Entah memang dibebaskan atau dikirim ke penjara lain atau dieksekusi. Tak pernah ada cerita bagi yang dipanggil dan tidak balik ke sel. Martin, seorang tahanan yang sebelumnya seseorang yang mempunyai posisi tinggi disebuah pabrik menjadi sahabat bagi Ciszek, siang-siang sepulang dari introgasi tetiba membagi roti jatah sarapannya.

“This is for you,” he said “If you ever get out of here, try to find my wife. I know I’m going to be shot”. That night he was called out. He never returned. (hal. 66)

Begitu datar Ciszek menuliskan sebuah kejadian. Tapi bayangannya begitu mengiris hati.

Apalagi cerita tentang interogasi yang akan banyak di buku itu, yang pertama dituliskan pasti tentang detail ruangan, petugas yang menginterogasi, perlakuan atau gerakan dalam melakukan interograsi diceritakan dengan detail. Integratornya botak atau rambut lurus, mata hitam atau tatapan matanya, bentuk tubuhnya. Pertanyaan dan jawaban yang cukup menggelitik dan diulang-ulang dituliskan dengan baik. Pokoknya lengkap dan sama sekali tanpa penilaian terhadap perlakuan mereka.

Cerita tentang makanan, yang sangat sedikit dan perlu dihemat, sudah banyak diceritakan waktu perjalanan memasuki Rusia maupun menjadi pekerja kasar. Upah yang rendah dan jatah ransum yang sangat tidak cukup membuat mereka biasa berhemat. Tetapi di penjara lain lagi. Bukan cuma berhemat, juga mesti diperjuangkan karena jatah makan diberikan untuk satu sel bukan orang per orang. Sehingga setiap orang akan berusaha mendapatkan lebih dari yang lain. Tidak berlebihan tetapi sekedar lebih banyak dari teman satu sel.

Jatah makan di penjara diberikan tiga kali kali sehari dimasukkan dalam sebuah ember besar untuk setiap sel. Jatah sarapan adalah sepotong roti seberat 600 gram, air panas, dan dua kotak gula. Siang hari akan diberikan sup dengan kuah setengah liter sedangkan sore akan dapat dua atau tiga sendok minuman ‘kasha’ (kopi?). Warga sel sendiri yang harus membagi ransum itu.

Sebuah cerita tentang rasa lapar dituliskan dalam buku itu dengan sangat indah, sangat menyentuh, tapi juga bikin senyum. Jadi waktu itu Ciszek dipanggil keluar dan diminta untuk menyiapkan semua yang dia punya. (Ternyata dia dipindahkan ke penjara Lubianka). Ini penjara tersohor, hotel mewah yang diubah menjadi sebuah penjara. Tentu Ciszek tidak diberita tahu, untuk apa dia harus mempersiapkan diri. Tak banyak informasi yang diberikan. Hanya agak istimewa karena dia dikawal oleh seorang yang cukup tinggi pangkatnya (letnan, NKGB adalah pecahan dari NKVD) ditambah dua pengawal.

Ketika dimasukkan ke boks tahanan di lapangan penjara Prem, sebelum dikirim ke luar, kepada Ciszek diberikan tas kertas berisi roti utuh dan enam blok gula, banyaknya kira-kira dua kali lipat dari ransum dalam penjara. Ciszek cukup kaget dengan ini, dan tentu langsung memakan separuh roti itu bahkan sebelum pemeriksaan terakhir dilakukan. Kendaraan tahanan membawa Ciszek ke sebuah stasiun dan diberikan peringatan agar dia tidak melihat ke sekeliling. Cukup duduk di atas koper (Ciszek kaget juga bisa bertemu dengan kopernya itu).

Dimulai lah perjalanan panjang ke arah Moscow, sesuatu yang bisa ditebak Ciszek dari nama-nama stasiun yang dilewatinya. Cizsek duduk di dekat jendela dengan seorang pengawal duduk disampingnya. Sebuah perjalanan yang tepat untuk merefleksikan perjalanan yang sudah dilewati: menjadi seorang Jesuit, memasuki Rusia dengan tujuan tertentu, bekerja di Teplaya-Gora dan Chusovoy. Ketika rembang petang, Ciszek menghabiskan sepotong kecil roti tadi dan jatuh tertidur nyenyak. Di stasiun yang disinggahi, letnan dan pengawal turun dari kereta bergantian untuk membeli makanan dan minuman. Dua tiga kali seperti itu, Ciszek baru menyadari bahwa tidak ada bagian makanan (dan minuman) untuknya. Roti dan gula yang diberikan ketika di boks tahanan itulah jatahnya, yang sialnya sudah dihabiskan separuh bahkan sebelum keluar dari halaman penjara.

Rasa lapar dan pameran makanan dan minuman yang dibeli oleh sang letnan dan penjaga itu benar-benar menyiksa. Apalagi ketika ada separuh roti mentega jatuh di bawah kursi. Benar-benar menggoda. Kutipan panjang berikut ini membuat kita bisa trenyuh tapi juga senyum.

The next morning, one of the guards woke me and took me to the washroom before the rest of the passengers began to move about. I ate another piece of bread, then watched hungrily as the guards breakfasted on milk, bacon, and some white bread they had picked up at the last stop. We pulled into Kirov late that morning, and the two husky guards put away another whopping meal of fried fish, huckleberries, bread, and more milk. Again they gave me none, but no doubt they had their orders. Their constant snacks along the way, though, were making me even hungrier. I began to nibble from time to time on the bread despite the ration I had set myself.

That evening, in spite of my best intentions, I finished the loaf of bread: when I started to eat it, I just couldn’t stop, because I was so famished. I also finished the last of my sugar and licked the paper cone to get the last few grains. The next morning I was starved. One of the guards brought in from the station a breakfast of rye bread, butter, cheese, and some cups of coffee. The aroma was overpowering, and the saliva began to run down my throat as if someone had turned on a faucet. I couldn’t keep my eyes off that food all the time they were eating it, and I would have given anything to have a bite.

As we pulled into the station at Uren, one of the guards jumped up to get off the train. As he did so, he knocked a piece of bread and butter out of the lieutenant’s hand. It fell to the floor half-eaten, the butter side up. The lieutenant swore at him briefly for a clumsy ox, kicked the half-eaten bread under the seat, and followed him out of the compartment.

The temptation was too much. For the rest of the afternoon, I kept fishing under the seat with my leg, trying to make my movements as inconspicuous as possible so the guard sitting opposite me wouldn’t notice. Whenever he’d turn to look out the window or into the corridor, I’d swoop my leg around more violently until I began to get a cramp. That piece of bread now occupied all my thoughts; I spent the whole afternoon trying to retrieve it. I don’t think I ever worked so hard for a meal in my life.

At last, I felt the bread with my toe and kicked it forward. Then, when the guard would look away, I’d bend down and try to pick it up. When he’d look back, I’d pretend to be scratching my ankle, pulling up my sock, or tying my shoe. Finally, he looked back quickly and saw me reaching for the bread. I caught his eye and, in desperation, said, “Pozhalusta!” (Please!). He didn’t say anything one way or the other, just looked at me, so I snatched it up.

Just then, the lieutenant came into the compartment. I clutched that piece of bread and butter in one hand, tucked it under the elbow of the other arm, and tried to look nonchalant—at the same time wondering what the guard would say. He said nothing. When the lieutenant went out again and the guard turned to watch him go, I jammed the whole half-piece of bread and butter into my mouth and finished it at a gulp. At last I had my meal. (hal 74-76)

Kutipannya panjang, mungkin melanggar copyright tapi ini contoh story telling yang kuat dan bertebaran di dalam buku With God in Russia – Penerbit Ignatius. Silakan beli bukunya untuk menikmatinya. Apalagi cerita tentang interograsi, tentang kerja paksa di tambang batubara, tentang layanan seorang pastor, tentang kehidupan masyarakat umum di Rusia, dan masih banyak lagi. Bukunya cukup tebal 430an halaman. Tapi dijamin tidak rugi punya dan baca buku ini.

Dan Akhirnya: Ditangkap

Ini masih lanjutan cerita sebelumnya: Sembunyi -Sembunyi Sebagai Pastor.

Ketika Ciszek sudah jadi pengemudi truk dan mempunyai kesempatan untuk bertemu lebih banyak lagi dengan warga Rusia di luar pabrik pun masih harus hati-hati. Warga di situ terbuka untuk bercerita tentang Tuhan, tentang kerinduan akan ekaristi. Sebagai seorang pastor tentu ada rasa ingin membantu mereka tetapi Ciszek inget pesan uskupnya: hati-hati.

Hanya seorang di rumah sakit di Chusovoy yang sering dikunjungi Ciszek yang tahu bahwa dirinya seorang pastor. Pikirnya mungkin memberikan kesenangan batin (konsolasi) bila dia tahu bahwa dirinya seorang pastor. Ciszek juga berharap bisa memberikan pengakuan dosa atau pengurapan orang sakit untuk mereka yang sedang sakit dan membutuhkan doa-doa di rumah sakit itu. Pada kenyataannya Ciszek hanya bisa hadir di ruang tunggu yang selalu ramai sehingga tidak memungkinkan mewujudkan harapanya.

Januari 1941, secara mendadak Nestrow dan Ciszek dipindahkan ke Chusovoy. Benar-benar mendadak bahkan terburu-buru harus mengepak barang yang tidak seberapa dan berangkat. Sedikit ada curiga bahwa pengawas pekerja yang membuat itu semua, tapi terasa aneh karena ya hanya Ciszek dan Nestrov yang dipindahkan ke Chusovoy saat itu. Pekerjaan tetap sama seperti ketika datang di Teplaya-Gora, bedanya sekarang terasa lebih bebas untuk membeli makanan.

Di Chusovoy mereka ditempatkan dalam barak yang berisi lima orang bersama satu orang Yahudi dan dua orang lain Polandia. Begini Ciszek menggambarkan teman-temannya itu.

We shared a room in the barrack with a Jew named Valery and two Poles. One of the Poles, Fuchs, was a thin, emaciated man with black hair and tightly drawn lips. He wore a pincenez on his narrow nose and seemed to be always squinting through them, like a caricature of a scholar. Actually, he was a former railway official from Vilna, who now worked as an accountant in the camp office with Nestrov.

Valery, the Jew, was a big, lively fellow, the center of every conversation and a great talker. He was still a young man, perhaps twenty-four years old, forever recalling his life as an actor and his days in the theater. He had fled from Warsaw when the Germans approached and had come to Chusovoy, but not to work. He and Janocz, the other Pole, were two of the cleverest “con” men in the camp. They would disappear for days at a time, living by their wits, bartering anything and everything, avoiding work at all costs. They returned to the barrack only when they got hungry or needed money. Janocz was a little man with chestnut hair, a former Warsaw businessman, he said, but he was always very vague about the business. (hal. 61)

Detail sekali penggambaran Ciszek tentang seseorang, bangunan, dan situasi. Kita yang suka menulis dapat belajar banyak dari buku ini, belajar menguraikan tampilan seseorang misalnya.

Dari dua orang Polandia itu Ciszek belajar mendapatkan minuman dan makanan murah meriah di Chusovoy dengan cara membeli makanan ketika waktu restoran hendak tutup. Restoran akan bermurah hati menambahkan kentang, daging panggang, sop, whisky, dan lainnya, sungguh sebuah kesempatan baik. Mereka menikmati hal-hal seperti itu sebagai sebuah kemewahan. Mereka masih merayakan ekaristi dengan sembunyi-sembunyi, ketika dua teman Polandia entah sedang di mana dan teman Yahudi sedang antri membeli makanan (yang butuh beberapa lama), mereka bergantian mengunjukkan misa dan menjaga pintu.

Peralatan misa mereka titipkan kepada penjaga rumah yang sangat terharu mendengar cerita Ciszek tentang keluarga fiktifnya. Ciszek sudah terlanjur basah dengan cerita itu, sudah tidak mungkin mengarang cerita lain lagi. Penjaga rumah menjadi sangat membantu menjaga barang-barang yang dititipkan ke mereka.

Di Chusovoy pula mulai ada wajib militer, yaitu ketika Jerman waktu itu menyerbu Rusia sehingga dibutuhan banyak tentara sukarela. Mereka berdua pun harus mengikuti pelatihan wajib militer itu selama tiga atau empat malam setiap minggunya. Mereka harus mempelajari manual peralatan senjata dan ketentuan militer lainnya meskipun hanya mengenakan pakaian kerja sebagai seragamnya. Rusia tampak mulai terasa genting.

Bagian terakhir ini kuambil kutipan langsung saja, biar terlihat bagaimana Ciszek menggambarkan ditangkap. Ceritanya tetap plain, datar, tanpa menyalah-salahkan, tanpa dendam tapi berkesan. Silakan.

In early June, the first rota, or squad, was sent off from the camp at Chusovoy to Leningrad. Leningrad was one of the places that had to be held at all costs if the Germans came. I was informed that my rota would leave for Leningrad on the nineteenth of June. For the first time, it became clear that Nestrov and I were going to be separated, since he had not yet been mobilized. We were not sure what to do. In the end, the decision was not ours to make.

Several nights later, at 3 A.M., the secret police surrounded the barracks. Nestrov and I, along with our roommates—Fuchs, Valery, and Janocz—were arrested as German spies. How many others in the camp were arrested that night I don’t know, but there were a good many.

The young NKVD agent in charge held us at gunpoint while his men searched the room. They found two bottles of Mass wine in the room, a half-pound bag of tooth powder I had bought, a roll of cotton, and some papers on which the caretaker’s little boy had been practicing the alphabet. These items were immediately identified as These items were immediately identified as “bottles of nitroglycerin” (the wine was white), “gunpowder and packing for making bombs”, and the secret ciphers of a “code”. It still sounds ridiculous, but it wasn’t funny that morning at 3 A.M., with the barrack in an uproar and the NKVD holding us at gunpoint. We were allowed to pack a few things, then we were marched off to jail in Chusovoy. (hal.63)

NKVD itu kira-kira polisi rahasia deh. Dan di mana juga polisi itu sama saja, mudah sekali menuduh dengan bukti yang enggak-enggak ya.

Sedang menimbang apakah serial ini akan diteruskan atau tidak. Saya juga mengerti jika banyak mengutip seperti itu atau menceritakan secara detail, ada pelanggaran copyright. Banyak pertimbangan yang harus dilakukan. Tapi jika ada satu pembaca saja yang karena membaca posting ini kemudian membeli bukunya, tolong beritahu di comment ya, saya tentu sangat senang.

Sembunyi Sebagai Pastor

Mari kita teruskan cerita Ciszek di Rusia ya. Sudah diceritakan Ciszek sebagai pekerja. Khusus posting ini akan merangkum cerita mengenai tugas Ciszek sebagai pastor, romo tertahbis. Mengapa begitu? Ya karena cerita With God in Russia hanya terjadi karena Walter J. Ciszek SJ, tokoh kita ini, memasuki Rusia sebagai pastor, misi istilahnya.

Dalam perjalanan hingga akhirnya bekerja sebagai kuli angkut kayu, Ciszek sama sekali tidak pernah menampakkan bahwa dirinya pastor atau imam tertahbis. Sudah diceritakan bahkah Ciszek mengganti nama menjadi Wladimir Lypinski dan membuat cerita bagaimana dia harus sendirian menuju Rusia. Ciszek dan Nestrov harus umpet-umpetan, saling berjaga, bila hendak mengunjukkan misa.

Rusia sebagai negara komunis memang tidak melarang rakyatnya untuk beragama, tetapi menjalankan ritual agama sangat dibatasi, hanya boleh dilakukan di tempat-tempat yang telah ditentukan. Melakukan ritual di tempat umum, dilarang dan ditangkap. Dilarang keras melakukan pengajaran tentang agama, apalagi kepada anak-anak. Sedangkan dari partai, setiap minggu ada saja kumpulan rapat atau apa pun namanya yang berisi orasi tentang kebesaran Rusia dan keindahan hidup dalam komunis. Tentu banyak penyokong komunisme baik sebagai anggota partai maupun sebagai warga biasa. Mereka juga sangat berhati-hati jika berbicara dengan pekerja yang lain. Para pekerja senior yang ketika kelompok Ciszek sampai sudah ada di sana selalu menguasai pembicaraan dan diskusi. Hanya karena Ciszek mengejar rekor terbaik pengangkut log kayu (kemudian dalam tes pengemudi truk menjadi yang terbaik juga), maka mereka mulai disegani.

Mengadakan misa di dalam barak pekerja sudah pasti tidak dimungkinkan. Untuk itu Nestrov dan Ciszek menggunakan waktu istirahat tengah hari untuk masuk ke dalam hutan yang mengunjukkan misa di antara batang pohon tinggi dan gemerisik daun. Begini tulisnya:

It was impossible to say Mass in the barrack, of course. From time to time, however, Nestrov and I would take a walk into the forest, when we were free from work, and say Mass there. We used a big stump as our altar, and while one of us offered the Holy Sacrifice the other stood guard on the road.

It was an experience I’ll never forget. In the heavy silence of the thick forest, you could hear the chipmunks running and the birds gathering overhead. Suddenly, you seemed very close to nature and to God. Everything seemed beautiful and somehow mysterious, all dangers for a time remote.

At other times, if we had an hour alone but couldn’t leave camp to say Mass, we would take turns reciting and memorizing the prayers of the Mass until we knew them all by heart. We were always aware that the Mass kit might be discovered, and we would lose our book and vestments, but we were determined that as long as we could get bread and wine we would try to say Mass. (hal. 54-55)”

Di satu sisi terasa bahwa misa yang dipersembahkan secara sembunyi-sembunyi, penuh ketenangan, mendekatkan mereka pada Tuhan. Sungguh bahwa Tuhan menyertai mereka. Di sisi lain, kenyataan sulitnya mengkomunikasikan Tuhan dan agama, segera menyadarkan mereka bahwa misi mereka bukan sesuatu yang mudah. Mereka dikuatkan dengan ajaran St Ignatius untuk ‘contemplatives in action’ dan melakukan segala sesuatu demi Dia yang lebih tinggi, AMDG. Semangat itu yang membakar mereka bahwa mereka tidak sedang bermisi tetapi bahwa menjadi pekerja (kasar) itu panggilannya, “our ministry” kata mereka. Mereka sempat berkirim surat ke Uskup Shepticki juga ke Makar menceritakan keadaan saat itu. Makar juga memberi kabar bahwa dalam musim semi berikutnya dia akan bergabung di situ.

Meski begitu mereka berdua membuka telinga untuk mendengarkan dengan sungguh apakah ada suara Tuhan di situ. Satu dua tiga empat dan lebih banyak orang secara sembunyi-sembunyi membicarakan Tuhan dan atau agama. Ya sembunyi-sembunyi karena tidak mungkin dibicarakan secara terbuka tanpa menimbulkan dampak ditangkap polisi. Di antara para pekerja itu banyak yang menjadi cepu, mata-mata, yang salah satu tugasnya tentu membuat laporan mengenai tindakan atau kegiatan yang dilarang di negara komunis itu.

I found the teenagers, especially, interested in religion. They had heard it discussed and ridiculed so much in school they wanted to know more. Under the pretext of picking mushrooms or huckleberries, we would arrange meetings in the forest after work at night. There, behind a hillock or in some sunken spot, we would talk for hours about God and man’s relation to God and his fellow man. They were full of questions, eager to learn. Yet, at the end of such a session, they would make me promise not to tell anyone what we had talked about, and we would return to camp by different paths. (hal 58)

Kutipan ini penting, sepertinya inilah dimulainya perjalanan rumit dan menyakitkan oleh Ciszek. Tapi dalam buku itu tidak satu pun ada opini tentang siapa yang melaporkan, siapa yang memberikan informasi detail mengenai diri Ciszek. Sepertinya memang Ciszek tidak mempunyai dendam apa pun atas apa yang menimpanya. Pun dia menuliskan perlakuan yang kurang baik, dia akan menuliskan secara detail tanpa opini sehingga pembaca akan dibawa ke suasana waktu itu. Masih satu tulisan lagi hingga Ciszek ditangkap NKVD, dinas rahasia Rusia untuk dalam negeri. Tunggu ya.

(sedikit edit di paragraf ketiga, ‘dilakukan’ diganti ‘ditentukan‘)

Barak Pekerja dan Pekerjaan

(Cerita sebelumnya tentang perjalanan memasuki Rusia, ini lanjutannya tentang barak pekerja dan pekerjaannya.)

Ternyata mereka tidak akan bekerja di Chusovoy tapi masih masuk ke pedalaman lagi, tepatnya di Teplaya-Gora. Pengawas kerja di situ melihat dan memperhatikan dengan penuh keraguan kepada Lypinski maupun Kuralski yang pergi tanpa keluarga. Baginya mungkin cukup aneh ada orang dengan sukarela bersusah-susah menjadi sukarelawan di pabrik penggergajian kayu. Untuk meyakinkan Cizsek menceritakan ‘tragedi keluarganya’, begini tulisnya:

The judge seemed immediately suspicious of Nestrov and me, two men traveling together without families. I had to tell him the tragic story of how I lost my wife and children in one split-second during a German air raid. We had been crossing the street, I said, when the bomb exploded next to us. My wife and son and two daughters were killed outright; I was blown across the street. When I could crawl back to the crater, I found my wife lying across the body of our youngest daughter, both dead, and of the other children there was no sign. I felt my whole life had ended, so I decided to seek a new life in the lumber yards of the Urals, where the pay was rumored to be good and few questions would be asked. (hal. 50)

Tapi cerita itu tidak menimbulkan simpati sedikitpun bagi pengawas. Pengawas tetap memandang penuh curiga kepada Nestrov dan Ciszek. Namun di luar pengawas yang sok itu, para pekerja sukarela di Teplaya-Gora menyambut rombongan Ciszek dengan baik. Mereka tentu pingin tahu berita-berita yang ada, mereka haus akan informasi. Status mereka sebetulnya pekerja. Namun pekerja sukarela di negara komunis pula, perlakuan yang mereka terima tidak berbeda dengan para tawanan. Memang mereka mendapatkan upah, namun perlakuan pengawas dan pengawasan yang dilakukan menunjukkan mereka bukan pekerja bebas tapi tawanan.

Mereka masuk ke barak baru di Teplaya-Gora, tulis Ciszek:

At the lumber camp, the barracks were new and raw. Large sections in the walls, where the timbers had warped, were stuffed with mud and a plaster like stucco. The partitions between rooms were roughly done; through the ill-fitted boards you could see every move of people in the room next door. There was little enough privacy that way, but most of the families at least had a room to themselves. Nestrov and I, since we had no families, were assigned to a dormitory.

There were clean sheets on the beds—straw mattresses stretched over boards—and the floors were scrubbed. There were clean, rough-hewn tables and a stove in each section of the barrack for heating. Cooking was done on another stove at the end of the corridor that ran between the rooms, and everyone took turns at it during mealtimes. (hal. 52 – 53)

Ya seperti itulah jika Ciszek menuliskan bangunan atau kondisi. Jadi kita bisa ikut membayangkan karena detail penggambarannya. Itulah saya kira menariknya buku ini dibaca secara langsung. Namun yang tidak membaca secara langsung tetapi membaca yang saya tulis ini, kiranya dapat deh gambaran kasar apa yang ditulis di buku itu.

Setelah melalui interview segala macam, Nestrov kerja administrasi di kantor sedang Cizsek kurang beruntung karena tergolong sebagai tenaga kerja tanpa skill yang tugasnya mengangkat log-log kayu dari sungai dan menyusunnya sebagai tumpukan di darat dengan ketinggian tumpukan 6 kaki dan lebar lebih dari 50 meter. Kerja yang bener-bener kasar dan berat, belum lagi upahnya yang sangat rendah. Apalagi mereka orang baru, newbie pastilah dikerjain oleh mereka yang sudah dahuluan ke situ. Bahkan kadang Ciszek tidak dapat upah karena catatan pekerjaannya dicurangi oleh seniornya. Mereka berdua cepat belajar dari situasi dan segera saja diterima sebagai bagian dari pekerja-pekerja di barak itu. Ciszek dan Nestrov selalu menyatukan upah mereka untuk membeli makanan dan keperuan mereka berdua.

Mereka selalu mengingat pesan Uskup Agung Shepticki untuk selalu berhati-hati sehingga mereka masih menutup rapat identitasnya sebagai pastor, tidak mempraktikkan kegiatan terkait agama, dan tidak dapat secara terbuka merayakan misa di barak. Namun mereka membuka telinga mereka lebar-lebar dan mengamati apakah ada tanda-tanda religiositas di situ.

Kerja di kamp seperti itu ternyata mengenal jenjang karir. Cepat saja Ciszek dapat mencapai tingkat pegawai yang paling hebat yang pernah ada, legenda yaitu mencatat 55 meter kubik gelondongan yang bisa diselesaikan dalam seminggu. Jika pekerja Rusia mengejar rekor untuk mendapat pengakuan dan mungkin masuk ke partai (komunis) maka Ciszek hanya mengejar untuk mendapatkan tambahan upah. Sesuatu yang sungguh berarti di tempat yang seperti itu.

Untuk memperbaiki kondisi Ciszek melamar untuk menjadi seorang pengemudi dan melalui sebuah tes. Hasilnya Ciszek resmi jadi seorang “pengemudi kelas satu, Grade A” dengan tugas membawa truk dari Chusovoy – Teplaya Gora. Kualitas dan kepribadian Ciszek memang tidak diragukan, dalam kondisi apa pun dia bisa menjadi yang terbaik di kelasnya.

Sebuah pengalaman antara hidup dan mati diceritakan Ciszek begini:

(hal. 58 -59)

Cerita berikut akan lebih memaparkan suasana batin Ciszek sebagai seorang pastor. Seorang yang mempunyai tugas khusus dari uskup dan kongregasi maupun karena tahbisan pastor yang diterimanya. Masih ingin meneruskan membaca? Tunggu ya.

Masuk ke Rusia Sungguhan

(Cerita perjalanan adalah cerita yang sangat mengasyikan, tidak dapat saya tuliskan semua. Tentu ini cerita lanjutan dari izin yang sudah diberikan superior maupun uskup.)

Ciszek aka Lypinski dan Nestrow atawa Kuralski jadi berangkat menggunakan kendaraan yang sudah dimodifikasi. Sedangkan Makar masih ditinggal, toh dia gampang ke Rusia karena asli Georgia. Saya kok sulit membayangkan mobil itu bagaimana bentuknya, karena bisa diisi oleh dua puluh lima orang, apakah sebangsa truk atau container? Bagaimana dengan atapnya ? Biar gak membingungkan begini Cizsek menuliskannya:

Boxcar 89725 had two rows of rough plank bunks along the walls (“upper and lower berths”, Makar called them), straw on the floor, and a ventilator at the top of the car. The only other furnishings were an old punctured oil drum, which served as a stove, and a slop bucket to serve as a toilet. There were no windows. The cracks in the side walls were big enough to see through, however, and equally drafty. (hal. 46)

(Mungkin kalo ada waktu, ditanya paman gugel juga bisa memberikan fotonya. Tapi belum sempetlah. Semoga teman-teman bisa membayangkan kendaraan tersebut atau malah membantu saya mencarikan gambarnya.)

Resminya kendaraan itu adalah untuk para pencari kerja namun kenyataannya seperti kendaraan pengungsi. Penumpang di dalamnya kebanyakan Yahudi dan beberapa dari mereka adalah keluarga besar: buyut, kakek, nenek, ayah, ibu, dan anak-anak. Semua berangkat bersama. Jelas ini sebuah perjalanan pengungsian bukan pencari kerja. Perjalanan yang panjang itu semakin lama karena harus sering mengalah dari kendaraan atau kereta untuk keperluan industri. Jika berhenti, kesempatan mereka untuk menghilangkan penat, membeli makanan, mencari air bersih, membuang kotoran dan sebagainya.

Pada kenyataannya mereka oleh orang-orang tempat mereka berhenti dianggap pengungsi sehingga mereka mengalami kesulitan untuk membeli makanan. Orang kampung cepet berhitung, mungkin makanan yang mereka punya juga tidak cukup untuk mereka apalagi jika harus dibagi (dengan cara dibeli) oleh para pengungsi. Sebuah kenyataan yang normal di jaman perang. Banyak cerita kecil mengenai perjalanan ini. Misalnya cerita tentang seorang komunis Polandia yang merasa perjalanan ke Rusia, induknya komunis, adalah perjalanan ke tanah terjanji, penuh harapan dan keindahan.

Setelah empat hari perjalanan, 19 Maret mereka mulai meninggalkan wilayah Polandia dan memasuki Russia. Tulis Cizsek:

I do remember that it was the feast of St. Joseph, March 19th. And I do remember, too, nudging Nestrov in the ribs and saying softly, as I had said at the Archbishop’s palace in Lvov, “There you are—Russia in the spring!” (hal. 49)

Berikutnya sebuah catatan yang mungkin juga pernah dirasakan oleh mereka yang pergi meninggalkan tempat kediaman. Saya rasa semua pernah mengalami, Ciszek menulis begini:

We looked at each other for a moment in silence. There was no way of knowing what the future would bring, but we were doing at last what we had dreamed so many years of doing. It didn’t matter if no one else in that boxcar knew we were priests. We knew it. Crossing the border gave me a strange sense of exhilaration and, yet, of loneliness, of a beginning and an end to the life we had known. I couldn’t help wondering whether, like so many priests before us, we would be asked to give our lives for the faith. I remember falling asleep that night repeating to the clicking rhythm of the train wheels, “I am ready. I am ready. I am ready.” (hal. 49)

(Pertama kali ke Jakarta untuk kuliah, yang terasa hilang waktu itu adalah kokok ayam jantan saya digantikan azan subuh !)

Perjalan dari Lvov ke Ural melewati: Vinnista, Kiev, Bryanks, Kaluga, Gorki, Kazan, Ufa, dan berakhir di Chusovoy di (lereng?) Urals dalam waktu dua minggu. Selama dua minggu tersebut mereka, ber-25 orang itu, berbagi cerita, berbagi harapan akan hidup lebih baik di Urals. Dan mereka begitu gembira dapat mengakhiri perjalanan di Chusovoy meskipun perjalanan penuh kesulitan bahkan keraguan akan kecukupan bekal yang mereka siapkan. Kini mereka menyambut hidup baru.

Ada banyak cerita kecil dalam perjalanan tersebut, kalo itu semua saya ceritakan saya bisa kena tegur penerbit. Harus minta izin secara khusus, bagaimana pun itu buku ada copyright-nya. Bagi yang penasaran silakan beli bukunya ya. Ini bukunya: 

Tentu cerita ini masih akan berlanjut, tapi akan lebih melompat-lompat saja biar tidak terlalu panjang nanti ini cerita. Bayangkan kalau ditulis terus bisa sampai 1000 episode, membayangkannya saja sudah bikin malas hehehhehhheheheh

Izin Ke Rusia

Izin Superior dan Izin Uskup

Ini lanjutan cerita tentang Pijakan Terakhir ya.

 

Mereka bertiga punya keinginan membara yang sama untuk sampai Rusia. Sebetulnya ketika Polandia dijajah Rusia, artinya mereka sudah masuk Rusia. Tapi bagi Ciszek hal itu tidak menggembirakan. Ia menginginkan masuk ke jantung Rusia, bukan di pinggiran doang. Karena superior mereka di Lvov, mereka harus meminta ijin ke sana. Nestrov dan Makar berangkat duluan, seminggu kemudian Ciszek dijemput Makar untuk ke Lvov. Buruknya transportasi (kereta) membuat perjalanan ke Lvov penuh perjuangan dan Makar menunjukkan kegilaanya sebagai seorang Georgia (Rusia asli). Begini tulis Ciszek cerita tentang Makar.

These incidents were typical of Makar. I remember another occasion, later in Lvov, when he and I were stopped at gunpoint by a member of the NKVD as we returned from a journey late at night. Makar was furious; if he was at all nervous, it was not apparent. He proceeded to tell a long, involved story and scolded the secret service man for accosting two “Party members” in the middle of the night with drawn gun. Finally, out of fright or perhaps bewilderment, the man let us go. The same thing happened now. The official found us a berth and promised we wouldn’t be disturbed, and so we traveled to Lvov in style, arriving well rested after a good night’s sleep. (hal. 40)

(Pastor panjang akal begini ya.)

Keadaan perang dimanapun tidak menyenangkan. Three Musketeers tetap bersama mengingat kondisi Jesuit di Lvov sendiri juga kesulitan. Para Jesuit di Lvov hanya menempati petak kecil dari gedung seminari miliknya sendiri, sisanya berbagi dengan tentara Rusia. Para Jesuit juga harus menghidupi diri dengan mencari uang sendiri. Ciszek mencari uang sebagai pengemudi truk jasa pindahan para gangter perang. Pada kenyataannya para gangster  itu bukan memindahkan barang-barang, tepatnya merampok. Itu disadari oleh Cizcek. Pokoknya cari duit buat pergi ke Rusia.

Mimpi tentang Rusia terus mereka pertahankan dan disampaikan kepada superior mereka di Lvov. Mereka melihat ada kesempatan karena ada gelombang besar-besaran migrasi ke Rusia sebagai tenaga kerja di Urals. Superior menyetujui tetapi harus dapat ijin dari Uskup Agung Lvov untuk Ritus Timur Metropolitan Shepticki. Uskup Agung sangat senang dengan antusias mereka tetapi juga memberikan peringatan bahwa  keinginan mereka itu bukan hal yang mudah apalagi dalam situasi perang.

Uskup akhirnya memberikan ijin untuk masuk Rusia dan mempelajari segala sesuatunya. Begini tulis Ciszek:

“I’ll tell you what, suppose we try it for a year. I’ll give you permission to try to enter Russia, but you must be very careful and take no chances. Your object must be simply to study the situation and see whether it is really possible to do much priestly work in Russia. Lord knows,the people need you.” (hal. 43)

Bahkan beliau memberikan masukan mengenai kondisi Rusia. Atas ijin itu maka mereka bertiga merancang bagaimana cara masuk Rusia. Pertama tentu mendapatakan KTP Polandia sebab tidak mungkin menggunakan paspor Amerika ato Polandia. Bukan suatu hal yang sulit bagi Makar untuk mendapatkan itu semua. Nestrov dan Cizsek harus membuat ‘biografi baru’ yang menyakinkan mengapa mereka mau bekerja di Urals. Saat itulah Ciszek memilih nama “Wladimir Lypinski”, seorang duda Polandia yang kehilangan keluarganya karena serangan udara Jerman. Sedang Nestrov memilih nama “Kuralski”.

KTP itu mereka gunakan untuk melamar ke agen pengarah tenaga kerja ke Urals. Mereka bertiga langsung diterima dan dijanjikan seminggu kemudian akan berangkat ke Rusia untuk bekerja di perusahaan kayu. Cukuplah waktu untuk berpamitan. Paspor mereka tinggalkan di Jesuit Lvov dan oleh Superior Jesuit di Lvov, Ciszek diangkat sebagai superior dalam misi mereka bertiga. Mereka juga mengunjungi Uskup Agung Shepticki kembali untuk menyampaikan apa yang mereka sudah jalankan, apa yang mereka rencanakan dan berpamitan.

As a final safeguard, the Archbishop tore a page from a book, tore it in half again, then gave us half the page and kept the other half himself. If we sent anyone to him with a message, he told us, or especially if we sent any candidates for the seminary to him from the Urals, we were to send along a piece of that page so it could be matched against the half sheet kept by the Archbishop to prove that the man or message had indeed come from us. (hal. 45)

(Kayak di cerita-cerita silat).

Uskup memberikan berkat dan mereka semua selalu berkaca-kaca mengingat kejadian tersebut.

Dari agen tenaga kerja diberitahukan perjalanan ke Chusovoy akan memakan waktu dua minggu hingga dua bulan dengan perjalanan darat. 15 Maret mereka bertiga mulai perjalanan ke Rusia, sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini. Mereka sudah mendapatkan semua, ijin, restu, berkat, bahkan juga bekal. Saat itulah perjalanan ke Rusia dimulai.

Cerita ini putus di sini dulu. Berikutnya cerita soal perjalanan, kerjaan dan keadaan Rusia tentunya.

Albertin-Lvov Pijakan Terakhir Sebelum Rusia

ini lanjutan cerita di sini ya

Pada akhirnya tokoh kita ini tiba ke Albertin – Polandia November 1938 sebagai pastor paroki sekaligus pengajar bagi Jesuit muda dan anak-anak paroki situ. Seperti pastor romo jaman dulu, Ciszek termasuk rajin mengunjungi umatnya. Sekedar berkunjung untuk berbagi cerita, mendengarkan pengakuan, mengunjungi orang sakit, dan kegiatan pastoral lainnya. Sekitar setahun di situ, ketegangan dunia meningkat. Perang antara Jerman (Hitler) dan Rusia kayaknya sudah di ujung senapan. Sebagai warga Amerika, Ciszek mendapat telegram dari Kedutaan Amerika untuk menyiapkan diri pulang ke Amerika mengingat keadaan sudah genting. Namun keinginannya ke Rusia dan rasa tanggung jawabnya sebagai pastor paroki yang ditugaskan di situ membuat Ciszek menolak untuk pulang ke Amerika. Dia memutuskan untuk tinggal.

1 September 1939 Hilter menginvasi Polandia. Perang sudah nyata. Misi kecil Jesuit di Albertin harus memutuskan. Jesuit muda dikembalikan pada orang tuanya sampai keadaan menungkinkan, Ciszek dengan paspor Amerika tetap bertahan dengan perhitungan akan mendapat respek dari tentara Jerman maupun Rusia. Sedang pastor yang ada bertahan untuk menguasai dan mempertahankan properti. Suatu pagi, tentara Rusia sampai ke Albertin. Seperti layaknya tentara dimanapun, mereka membutuhkan tangsi tempat mereka bermalam dan tinggal, mulai mengokupasi gedung-gedung yang ada termasuk gedung seminari dan gedung lain yang dimiliki oleh gereja.

Bagaimanapun juga tentara Rusia yang pasti sudah di-brainwash menjadi seorang atheis, tidak bisa berdampingan dengan damai orang-orang beriman di masa yang tidak menentu (perang). Ciszek menceritakan bagaimana buku-buku perpustakaan dibuang-buang oleh tentara mengingat perpustakaan seminari tersebut akan digunakan sebagai tempat menginap. (Jadi inget bagaimana dulu ortu membakar satu almari penuh komik hanya karena adik tidak naik kelas. Kami hanya menyaksikan dengan penuh rasa sesal, baik karena ketidaknaikan kelas adik tapi terlebih karena kehilangan komik itu.) Para tentara melakukan gangguan pada saat perayaan ekaristi. Salah satunya membuat Ciszek sangat marah. Tulisnya:

Then one Sunday, after the seven-o’clock Mass, I went out to give a short sermon to the people. As I started to speak, I noticed some soldiers lounging in the vestibule of the church. They were standing there laughing, caps on their heads and devilment in their eyes. I got mad. In my anger, I launched into a sermon on the classic text “The fool hath said in his heart there is no God.” It was probably the most spontaneous sermon I ever preached; every word came right from the heart and flew straight at them. They were stunned momentarily, then bewildered, looking around sheepishly, shuffling their feet as they saw the eyes of the congregation turn to them. They started to go, then stood there, too proud to retreat but ashamed to react, until I had finished. It was a personal triumph of sorts for me, but it was bound to be costly, and even then I knew it. (hal. 37)

Hahahahahaha, pastilah ujungnya bisa ditebak. Yang bersenjatakan otot ya pasti menggunakan ototnya untuk menutupi malunya itu. Besok lagi, bukan cuma gangguan suara, tapi mereka mengobrak-abrik gereja! Gereja akhirnya harus ditutup dan misi kepada ritus timur terpaksa dihentikan. Namun Ciszek mendapatkan kejutan karena bertemu dengan Pater Nestrov dan Pater Makar, Three Musketeers kembali berkumpul. Cizsek menggambarkan dua temannya itu dengan seperti ini:

Makar, the tall Georgian, was strangely elated. With his long, wavy hair, hook nose, and flashing black eyes, he seemed a born ad- venturer, and the trip from Lvov to Albertin had put him on his mettle. Nestrov was another adventurer of sorts, though he didn’t look like one. He was heavy-set and practically bald, with a bulbous nose that made him look like a larger version of Tolstoy. (hal. 39)

(Penggambaran detail wajah dan perawakan manusia termasuk yang dipelajari khusus dalam kelas menulis narasi. Dan cara Ciszek menggambarkan detail (orang, bangunan, suasana) sungguh mengagumkan karena membantu pembaca membangkitkan bayangan yang ada.)

Lanjut tulisan berikutnya ya.

Masih Pada Awal Mula

Keinginan Ke Rusia

Ini lanjutan cerita Pada Awal Mula – Bukan Jesuit Biasa

Pada awal tahun 1929 Paus Pius XI menulis surat khusus kepada para seminaris untuk bergabung dengan Russian Centre yang akan segera dibuka di Roma untuk menyiapkan para klerik bertugas di Rusia. Mendengarkan pembacaan surat tersebut, terbakarlah hati Ciszek.

Begini tulisanya: “Even as Fr. Weber read the letter something within me stirred. I knew I had come to the end of a long search. I was convinced that God had at last sought me out and was telling me the answer to my long desire and the reason for all my struggles.”

Keingin tersebut disampaikan dan didiskusikan dengan pastor pembimbing, “Berkarya di Rusia”, namun tidak ada jawaban pasti dari pembimbing rohaninya. Merasa keinginannya untuk ke Rusia tidak mendapat tanggapan yang layak dari pembimbing rohani, Ciszek menulis langsung kepada Jenderal Serikat Jesus di Roma. Jawaban dari Roma tidak sekaligus membesarkan hatinya atau keinginannya dipenuhi, tapi diminta untuk meneruskan studi yang ada sambil terus berdoa tentang keinginan itu. Ketika dia mengikuti kuliah filsafat, sekali lagi dia menulis surat khusus kepada Jenderal Serikat Jesus dan berharap dapat mengikuti kuliah filsafat di Roma agar semakin dekat dengan keinginan untuk berkarya di Rusia. Jawaban yang diperoleh juga tidak memberikan kepastian kecuali agar meneruskan doanya.

Namun akhirnya sebuah panggilan bagi Ciszek untuk berangkat ke Roma menyelesaikan studi teologi, waktu itu musim panas tahun 1934. Di Roma selain menyelesaikan studi teologi, dia belajar segala macam mengenai Rusia sambil belajar bahasa Perancis dan Jerman. 24 Juni 1937 Ciszek ditahbiskan menjadi seorang Pastor Roma Katolik yang ditahbiskan dengan Ritus Bynzantium. Sekali lagi, Ciszek memang bukan seorang pastor (Jesuit) biasa.

Lupa diceritakan, pada kesempatan belajar di Russian Center itu, Ciszek tertemu dengan banyak orang dari segala bangsa. Namun dia punya ‘sahabat’ kental, yang mempunyai keinginan membara yang sama untuk pergi ke Rusia, yaitu Pater Nestrow dan Pater Makar. Mereka berdua adalah Jesuit dari Provinsi Polandia.  Dari temennya itulah, Ciszek mendengar kabar mengenai kecilnya kesempatan untuk dapat masuk Rusia saat itu. Kedua temannya itu mendapat penugasan untuk melayani umat Katolik Ritus Timur di Polandia.

Ciszek tidak menganggap kabar itu sebuah halangan yang besar. Memberanikan diri (sebuah frasa yang keliru, soalnya Walter J. Ciszek, SJ itu khan keras kepala dan tidak ada takutnya, bagaimana bisa dianggap berani) dia menghadap Pater Jenderal, Pater Ledochowski, menyampaikan keinginannya untuk berkarya di Rusia. Pater Jenderal sangat memahami keinginan itu namun juga menimbang segalanya, tidak ada kemungkinan untuk masuk langsung ke Rusia. Namun begitu sebuah misi di Albertin Polandia disodorkannya untuk Ciszek melayani umat Katolik dengan ritus timur sambil terus mempersiapkan diri dan doa agar keinginan berkarya di Rusia dapat terwujud. Pun kecewa, Ciszek sebagai seorang Jesuit sudah bisa menghayati bagaimana sebuat ‘ketaatan’ itu harus dihidupi.

Lanjut nanti cerita di Albertin, selangkah sebelum masuk Rusia.

Penziarahan 2.130 Kilometer dengan Tujuh Perhentian

Sepuluh tahun yang lalu kami melakukan penziarahan ini. Artikel ini pernah dikirim ke sebuah majalah, tidak dimuat. Sepuluh tahun kemudian, lihat-lihat file dan email lama, ketemu. Baik pula bila dibagikan di sini. Pas Bulan Maria 2020 di masa pandemi

Alam sungguh memberi banyak energi positif. Alam memberi banyak permenungan atas perjalanan hidup yang sudah dilewati. Alam sungguh memberi banyak inspirasi bagi hidup yang terus mengalir. Akhirnya alam akan mampu memberikan kesadaran budi demi kualitas hidup yang lebih baik. Sebagai seorang Katolik, tentu tidak salah bila perjalanan ziarah kali ini menggunakan pedoman tempat-tempat ziarah Katolik yang sudah dikenal, mengunjungi Gua Maria. Berikut permenungan dan pelajaran pribadi yang dipetik dari perjalanan itu.

Menurut KBBI, ziarah mempunya arti: kunjungan ke tempat yg dianggap keramat atau mulia. Definisi kamus rasanya tidak seluruhnya mewadahi arti yang dimengerti oleh banyak orang. Salah satunya perjalanan ziarah adalah perjalanan untuk berhenti sebentar dari rutinitas. Kontradiktif memang, ‘perjalanan untuk berhenti’. Namun itulah yang kami rasa ketika kami memutuskan untuk menikmati perjalanan dari sela-sela rutinitas. Berhenti dari rutinitas untuk menimba energi alam bagi kebaikan, ketentraman, dan kesejahteraan hidup.

Perjalanan penziarahan dimulai. Sengaja tidak dipilih bulan Mei misalnya yang dikenal sebagai Bulan Maria atau Oktober Bulan Rosario. Semata untuk mencocokkan jadual kerja tapi juga menghindari keriuhan tempat ziarah. Keriuhan yang sering menjauhkan suasana permenungan dan doa. Sedang sepi saja, perlu usaha keras untuk bisa masuk suasana doa.

Seperti juga hidup, ziarah kali ini juga punya rencana tujuan. Biarlah Yang Maha Mengetahui yang mengatur demi baiknya. Misalnya perjalanan berkendaraan pribadi antar kota tujuan tidak benar-benar direncanakan kecuali tempat tujuan. Lihat saja kondisi tubuh, lihat saja nanti keadaan alam, lihat saja nanti kesibukan di perjalanan. Begitu kami pikirkan. “Allah Bapa Yang Maha Kasih beri kami perjalanan yang menyenangkan dan jauh dari kesulitan. Pun kami menemui kesulitan, beri kami kekuatan untuk mengatasinya.” Demikian doa pendek kami panjatkan di awal perjalanan

Masih pagi, di rest area

Hari masih benar-benar pagi, dini hari baru saja lewat, subuh baru akan menjelang, ketika kami mengawali perjalanan. Waktu juga terus berjalan seperti juga kendaraan kami tak terasa Doa Ratu Surga pagi itu sudah harus didaraskan ketika perjalanan menjelang Subang. Gereja Katolik Kristus Sang Penabur, Subang adalah perhentian pertama penziarahan ini. Pada gereja ini terdapat Gua Maria Bunda Kristus Tebar Kamulyan. Tebar kamulyan memberikan permenungan bahwa kami yang berziarah mengikuti Yesus melalui Maria Bunda-Nya, mendapatkan kemuliaan dan bisa menebarkannya ke semua orang.

Gereja Katolik Kristus Sang Penabur
Magis ya’

Gua Maria Bunda Kristus Tebar Kamulyan
22 April 2010
Perhentian Pertama

Meskipun sudah dibantu dengan peta masih harus pandai bertanya tentang jalan yang harus dilalui. Peta tidak begitu banyak membantu apalagi bagi kami yang buta sama sekali soal baca peta. Ditambah kebodohan bertanya menyebabkan perjalanan memutar arah. Bertambah jauh dan lama, tapi itulah memang perjalanan yang dipersiapkan oleh-Nya bagi kami. Kota Kuningan adalah tujuan kami selanjutnya. Tepatnya di Cisantana – Cigugur dimana di situ ada Gua Maria Sawer Rahmat.

Perhentian Kedua
22 April 2010

Perjalanan yang jauh dan tidak kenal medan ditambah hujan yang lebat rasanya menambah berat ziarah kali ini. Tapi selalu saja ada kemudahan juga ketika kami dapat menemukan Gereja Katolik Maria Putri Murni Sejati di Cisantana. Kang Maman penjaga gereja mengantarkan kami dengan motornya hingga dekat dengan tempat jalan salib dimulai. Tempat ini sungguh menantang dengan kontur tanah yang naik turun meski sudah dilengkapi dengan pasangan batu-batuan. Dalam penziarahan di Gua Maria Sawer Rahmat rasanya kembali diingatkan untuk bisa berbagi rahmat yang diterima dari-Nya. Jalan dari-Nya kadang sukar berat aneh tapi yakin di ujung ada kelegaan.

Gua Maria Sawer Rahmat

Hampir memasuki gelap perjalanan diteruskan untuk bisa berhenti dan bermalam di Purwokerto. Rute yang kami pilih akhirnya harus kami koreksi dari masukan seseorang yang sering melewati rute itu. “Mending memutar daripada melewati jalan yang sedang sungguh rusak.” Rasanya ini seperti hidup kami juga yang atas saran orang kadang harus menghindari kesulitan dan kerumitan. Terima kasih sarannya. Agak larut kami sudah bisa berhenti dan bermalam.

Pagi subuh, tanpa sarapan kecuali minum hangat, kami langsung ke arah Kaliori – Banyumas di sana ada Gua Maria Kaliori sebagai perhentian ketiga. Sungguh tentram rasanya memapaki jalan salib di pagi yang cerah itu. Sungguh teduh beristirahat di depan patung Maria. Dari ziarah ini kami mendapat pelajaran, Gua Maria ini tak bernama khusus, kecuali lokasi keberadaannya, kadang kami juga harus tanpa identitas khusus tapi tetap memberi arti bagi banyak orang.

Gua Maria Kaliori
23 April 2020
Perhentian Ketiga

Yogyakarta transit kami selanjutnya. Transit karena ada acara 1000 hari meninggalnya bapak. Tak banyak yang kami bisa petik kecuali acara berjalan lancar karena keiklasan orang-orang yang sungguh mengenal orang tua kami sebagai orang yang guyup, bersemangat, bekerja keras, dan selalu gembira. Kami menyempatkan diri ke Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus – Ganjuran di malam ketika semua acara selesai. Di kaki Candi Tyas Dalem Kristus kami merenungkan untuk siap meneladani hati Yesus Kristus yang bisa menampung semua persoalan sedih atau gembira tanpa batas. Itu perhentian keempat.

Pengetan 1000 hari
FX Harsono Widyatmoko
24 April 2010
Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus
Ganjuran, 25 April 2010
Perhentian Keempat

Selesai semua urusan, ketika kepenatan karena acara hilang, perjalanan diteruskan. Gua Maria Lourdes Puh Sarang, Kediri adalah tujuan selanjutnya. Perjalanan di mulai tengah hari, melewati jalan menerabas lewat Tawangmangu, Cemoro Sewu, Sarangan, Magetan, Madiun yang akhirnya ke arah Kediri melalui Nganjuk. Jalan yang berliku naik turun kadang mulus kadang rusak berat, kadang lurus kadang berkelok tanpa henti. Rasanya seperti hidup yang kami jalani, kadang nyaman kadang rumit dan sulit, tapi kami harus menjalaninya.

Kondisi tubuh akhirnya memaksa kami untuk bermalam di Kediri tidak langsung ke Puh Sarang. Perjalanan ke Puh Sarang diteruskan hingga sampai ke Gua Maria Lourdes Puh Sarang pagi harinya. Suasana yang sepi dan syahdu menambah suasana doa gampang terwujud. Mengikuti jalan salib dengan patung-patung sebesar manusia di pagi yang cerah itu rasanya sungguh masuk di hati. Tapi di Gua Maria, yang merupakan tiruan dari Gua Maria Lourdes Perancis, kami mendapatkan permenungan bahwa dalam hidup hal yang baik silakan ditiru sebanyak mungkin.

Gua Maria Lourdes
Poh Sarang Kediri
27 April 2010
Perhentian Kelima
Ada yang ingat?

Sedikit siang perjalanan diteruskan. Sedikit informasi yang kami terima dan bantua peta yang sungguh rasanya tidak cukup membuat kami memberanikan diri menuju Gua Maria Fatima Sendang Waluyo Jatiningsih – Klepu – Sooko – Ponorogo sebagai perhentian keenam. Tidak cukup hanya sekali dua kali bertanya hingga sampai tempat yang dituju. Itu terjadi karena kami selalu terburu-buru untuk menyangka di depan itulah tujuan kami. Senyatanya tujuan kami masih ada di depan jauh sana.

Rasanya inilah perjalanan terberat untuk berhenti sejenak. Perjalanan hingga ke kaki bukit dengan jalan makadam dan perjalanan ke sendang sendiri yang terus menanjak. Tapi kami dikuatkan oleh orang-orang sekitar. “Bis saja bisa terus”. “Tinggal sedikit lagi lagi kok” Menjadikan kami yakin bahwa perjalanan ini memang harus kami lalui. Berdoa di kaki gua dan minum air sendang yang segar memberikan permenungan. Persis seperti itulah hidup manusia mulus, meliuk, bergelombang, menanjak dan menurun tajam, rusak berat tapi bila sampai tujuan rasa nyaman memeluk.

Gua Maria Fatima – Sooko – Ponorogo
27 April 2010
Perhentian Keenam

Malam itu akhirnya kami kembali ke Yogyakarta diiringi dengan hujan yang kadang deras dan gelap sepanjang jalan. Beristirahat tentulah perlu untuk mengembalikan vitalitas dan kesegaran tubuh. Masih satu perhentian lagi yang kami inginkan. Perhentian ketujuh di Gereja Maria Assumta Pakem – Sleman kami jalani pada pagi hari berikutnya. Perhentian ini tidak asing bagi kami. Tapi kami selalu menemukan permenungan baru ketika mengunjunginya.

Pada gereja ini ada Patung Ibu Maria Risang Sungkawa. Kali ini kami merenungkan bahwa dalam hidup kami kadang menemui kedukaan. Tapi jangan tenggelam dalam duka sebab dalam duka selalu akan terasa rahmat-Nya.

Sumur Kitiran Mas yang airnya jernih dan menyegarkan ada di bawah patung Ibu Maria Risang Sungkawa. Sumur ini memberikan kami dua permenungan khusus. Seperti sumur yang airnya memberikan kelegaan dan kesegaran, kami harus bisa membawa kelegaan dan kesegaran dalam hidup juga bagi orang-orang di sekitar. Seperti kitiran yang memberikan ajaran bahwa biarlah hidup kami bergerak karena angin dari-Nya semata.

Sumur Kitiran Mas – Pakem – Yogyakarta
Perhentian Ketujuh
29 April 2010

Demikianlah catatan perjalanan kami dalam 2.330 kilometer melalui tujuh perhentian yang semoga memberi kami kekuatan untuk menjalani hidup kami selanjutnya. Permenungannya memberikan kami pencerahan setiap kali kami menghadapi dan mengalami kesulitan.

Pagi Meninggalkan Yogya
30 April 2010

Pada Awal Mula

Bukan Jesuit Biasa

Cerita diambil dari buku ini. Silakan beli bila berkenan.
Sudah ada versi elektroniknya juga.

Tokoh kita ini, Walter J. Ciszek, SJ adalah Pastor Jesuit Amerika lahir 4 November 1904 di Shenandoah, PA  dari pasangan imigran Polandia sebagai anak ketujuh dari tiga belas bersaudara. Ciszek sendiri menyadari sebagai seorang (anak) yang bandel, keras kepala, tapi sembada kata orang Jawa. Masa kanak-kanaknya dipenuhi kekerasan jalanan model anak-anak. Seperti biasa anak laki-laki yang bandel dekat dengan ibunya. Ibunyalah yang memberikan dorongan ketika di kelas delapan dia menyatakan diri pingin menjadi seorang pastor. “Kamu pasti jadi pastor yang bagus”, begitu kata ibunya yang menyemangatinya. Keinginan untuk menjadi pastor itu bukan karena dua kakak perempuannya masuk asrama menjadi suster (biarawati). Juga bukan karena banyak keturunan Polandia di sekitarnya yang masuk seminari. Tapi sebuah niat yang muncul tiba-tiba namun demikian kuat ketika waktu itu dia berjalan-jalan dan memperhatikan betapa cerahnya langit. Ayahnya tidak seketika mendukung ketika disampaikan keinginan itu. Ciszek tidak ambil peduli atas keraguan dan ketidaksetujuan ayahnya. Sebodo amat toh selama ini mereka tidak pernah akur.

Terhadap ayahnya yang sering tidak akur itu, di saat-saat di penjara dia mengenangnya, tulisnya:

Still, he was a wonderful father. I remember the day I went to a Boy Scout outing in another town and spent the money he had given me at an amusement park near the camping grounds. I had no money for the train fare home. Instead, I hitched a ride by hanging on to the outside of one of the cars. I was nearly killed against the wall of a tunnel we passed through, and I arrived back home in Shenandoah about 1 A.M., very cold, very tired, and very scared. My father, worried, was still waiting up for me. He lit a fire in the kitchen stove and then, without waking my mother, cooked a meal for me with his own hands and saw me safely into bed. Many years later, in the Siberian prison camps, it was that episode above all others that I remembered when I thought of my father. (hal. 19)

(Anak-anak sekarang tentu akan bilang: oh so cool !)

Ciszek masuk ke seminari St Cyrillius dan Metodius di Michigan. Seminari tidak membuat keras kepalanya menjadi lunak, bandelnya berkurang. Di saat malam yang lain tidur, Ciszek bangun dan berdoa di kapel sendirian. Di saat yang lain belum bangun, Ciszek berlari mengelilingi seminari atau di bulan November ketika air danau hampir membeku dia berenang di pagi buta. Ketika masa puasa prapaskah, maka sebulan penuh dia hanya makan roti dan minum air putih tidak yang lainnya. Atau di selama setahun berpuasa tidak makan daging. “I still couldn’t stand to think that anyone could do something I couldn’t do…”

Ciszek selalu mencoba sampai batas terakhir dirinya bisa tahan. Termasuk juga untuk urusan bersosialisasi. Pada saat liburan sekolah, dia memutuskan untuk tidak pulang tetapi tetap di asrama untuk mengerjakan pekerjaan kasar dan merasakan kesendirian, keterputusan dengan keluarga dan teman.

Di seminari jugalah yang semakin membuat dirinya menjadi seseorang yang keras dan tahan banting yaitu ketika dia membaca riwayat hidup St. Stanislaus Kostka, seorang suci dari Polandia. St. Stanislaus Kostka dengan tekad yang membara, pada jaman itu berjalan dari Warsawa ke Roma untuk bergabung dengan Serikat Jesus. (Ada yang bisa berbagi cerita tentang Santo ini ?). Saat itulah Ciszek merasa harus bergabung dengan Serikat Jesus, meskipun jika tetap di seminari itu dia akan ditahbiskan sebagai seorang pastor dalam waktu 3 tahun mendatang sedang kalau bergabung dengan Serikat Jesus, minimal 7 tahun lagi.

(Jadi ingat yang ngaku-ngaku pastor Yesuit Kathedral Jakarta.)

Meskipun saat itu juga ada keraguan dalam hatinya. Gak mungkinlah bergabung dengan serikat yang selalu dituntut ‘ketaatan penuh’. Itu sangat jauh dari dirinya yang sangat-sangat bebas dan mandiri. Melalui pertimbangan dan doa akhirnya dia memberanikan diri untuk menulis surat kepada Jesuit Polandia di Warsawa.

(Gendeng juga nih orang ya, udah dari keluarga imigran Polandia, eh mau jadi Jesuit kok ya nglamarnya yang di Polandia. Emang sih Ciszek bukan Jesuit biasa, seperti judul tulisan saya ini.)

Jawaban dari Polandia tentu sebuah penolakan dan disarankan bila ingin masuk serikat agar menghubungi Provinsial Jesuit di New York tepatnya di Fordham Road. Tanpa memberi tahu yang lain, suatu pagi Ciszek naik kereta ke New York dan sampai ke Fordham Road 501, kantor Provinsial Yesuit. Siang itu Provinsial sedang tidak berada di kantor dan baru akan balik sore harinya. Dia menghabiskan waktu mengelilingi kampus Fordham dan sampai tiga kali balik untuk menanyakan apakah provinsial sudah bisa ditemui belum. Sepanjang waktu itu dia berpuasa. Baru sekitar jam delapan malam Provinsial ada dan dapat ditemui. Dalam perbincangan awal tersebut, Provinsial menanyakan apakah keluarga sudah tahu tentang keinginan masuk serikat. Ciszek meyakinkan bahwa umurnya sudah 24 tahun sehingga sudah bisa mengambil keputusan sendiri sambil mengingatkan cerita St. Stanislaus Kostka yang pernah dibacanya.

Provinsial meminta Cizsek berbicara dengan rekan Jesuit yang lain, seorang pastor tua yang membutuhkan alat bantu dengar. Mereka harus berbicara dengan setengah berteriak, Ciszek berteriak menyatakan diri ‘ingin jadi seorang jesuit’.  Pembicaraan sekitar tiga jam itu, tidak memutuskan apakan ‘yes’ atau ‘no’ untuk menyambut keinginannya. Meskipun Cizsek sangat yakin, tapi Jesuit di situ meminta dia pulang untuk menunggu surat panggilan atau penolakannya di rumah. Khas spiritualitas ignatian soal konsolasi dan desolasi  dia tulisakan:

I went home and began to pack, happy as I had ever been. It was more than joy—it was a deep and soul-satisfying peace. It was something more, too, than just the quiet and release from tension that follows the settling of any emotional problem—it was positive and deep-seated happiness akin to the feeling of belonging or of having reached safe harbor, but deeper than that and a gift of God. (hal. 23)

Akhirnya benar, Cizsek jadi seorang novisiat Jesuit (ya ialah khan dia akhirnya jadi Jesuit, tapi perjalanan panggilannya itu lho yang sungguh sangat istimewa ! Bahkan keberangkatannya menjadi seorang novis (Jesuit) juga tanpa restu yang layak dari ayahnya). Di masa novisiat itu juga Cizsek hampir dikeluarkan. Hanya kekeraskepalanya (tentu kita percaya juga karena Rahmat Allah) yang menyelamatkan dia dari eliminasi.

Segitu dulu, lanjutannya menyusul ya.